Tak ada gading yang tak retak, tak ada hati yang tak terkoyak. Mungkin peribahasa inilah yang tepat untuk mendefinisikan betapa aku merasa bersalah pada sosok yang telah melahirkan anak durjana sepertiku. Bahkan lebih dari itu, benar-benar aku adalah anak yang tidak tau diri akan siapa siapaku. Masih basah dalam ingatanku akan khilaf yang teramat sangat kusesali. Saat itu usiaku masih 14 tahun. Kondisi remaja yang sering orang sebut ‘ababil’, yakni ABG labil.
Saat itu aku masih kelas IX. Aku diterima di sekolah favorit karena prestasiku. Mati-matian aku belajar agar aku dapat mempertahankan predikat ‘orang pintar’nya sekolahku. Namun tentu tak semudah yang di bayangkan. Ratusan siswa yang berkompetisi dapat dengan mudah ku kalahkan, tapi emosi dan egoisme dalam diriku sendiri yang sebenarnya yang menjadi pesaing terbesar dalam hidupku.
Mamaku adalah penjual gado-gado dan es pisang hijau di sebuah Taman Kanak-kanak di Desaku. Papaku adalah seorang buruh tani yang setiap hari bergumul dengan lumpur. Setiap pagi papa dan mama bangun jam 3 pagi untuk mempersiapkan barang dagangan dan tentu menyiapkan makan untuk kami. Pukul 5 pagi, aku bangun dan mengerjakan tugas sehari-hariku untuk menyapu, menyiapkan pakaian adikku dan belajar dulu sebelum ke sekolah. Setengah 6 pagi, papa mengantar dagangan mama ke kantin yang disewa didepan rumah salah seorang guru TK tempat mama berjualan.
Tak lama kemudian mama menyusul papa ke kantin dan membawa beberapa buah lontong yang tidak sempat dibawa oleh papa. Kemudian aku bangunkan adikku, sedang aku bersiap-siap untuk mengemas perlengkapan sekolahku. Sekolahku cukup jauh dari rumah. 30 menit perjalanan naik kendaraan umum. Tentu aku berangkat ke sekolah setelah menyelesaikan tugasku mengurus adikku satu-satunya yang teramat sangat aku cintai. Tepat pukul 6.30 handphone bututku berbunyi, ternyata telpon dari mama.
“Nak tolong antarkan santan yang mama taruh di toples bening yang tutupnya merah. Mama lupa membawanya. Papamu baru saja pulang, jadi tidak mungkin mama minta tolong papa” ucap mamaku gusar.
“Aduh mamaaa, ini sudah setengah tujuh ma. Nanti aku terlambat!” balasku dengan ketus.
“Mama minta tolong nak… mama janji deh, nanti uang jajannya mama tambahin” Timpal mama membujukku.
“Arrrrgghhtt mamaaa, iya-iya aku antarkan. Apalagi yang kelupaan? Nanti biar Syifa gak bolak balik lagi. Syifa telat nih ma” jawabku mengiyakan dengan nada kesal.
“Tidak ada sayang, Cuma itu kok. Terimakasih ya nak” tutur mamaku lembut.
Pembicaraan itu pun ku akhiri dengan menutup teleponku.
“Huh, mama ini ada-ada saja. Lupa atau gimana sih kalau hari ini hari senin? Kalau upacara bendera kan datangnya harus lebih pagi. Mana kelasku yang bertugas lagi. Arrrrrgghht! Benar-benar bikin naik darah.” Gerutuku dalam hati.
Aku mengambil santan yang telah disiapkan mama. Santan itu ternyata masih panas. Aku menutup toples bening itu dan memasukkannya ke dalam tas jinjing yang biasa dipakai mama berbelanja. Dengan sepeda butut peninggalan almarhum opa, ku antarkan santan itu ke tempat mama berjualan. Nasib naas menimpaku. Ditengah perjalanan sepeda butut itu tak dapat ku kayuh, rantainya terlepas, dan tas yang ku jinjing terjatuh. Beruntung toplesnya tidak pecah. Tapi karena santan itu tadinya masih panas, jadi tidak kututup rapat penutupnya. Santannya tumpah-tumpah membasahi seragam dan sepatuku. Sial! Santannya sisa sedikit. Tak mungkin aku pulang dan membuatnya lagi. Tapi rasanya tak mungkin juga untuk mengantarnya ke tempat mama. Tapi sudah kepalang tanggung, akhirnya kuputuskan untuk mengantarnya saja ke tempat mama. Aku juga sudah dikejar waktu. Pikirku.
Sesampainya ditempat mama, aku menjelaskan apa yang baru saja menimpaku. Mama yang sedang sibuk melayani pembeli sempat memarahiku. Katanya aku ceroboh sekali, lalu dengan santan yang kira-kira tinggal satu gelas itu mau di pakai apa? Mana cukup untuk racikan sebakul pisang hijau? Ahh aku masa bodoh saja. Aku langsung kabur dan mengayuh sepeda butut yang telah membawa sial tadi.
Sesampainya dirumah, aku segera berganti pakaian dan buru-buru berangkat sekolah. Angkot yang biasa kutumpangi ternyata sudah berangkat. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 7.30. “Duhh! Sial betul nasibku hari ini” Ungkapku kesal. Sudah setengah jam aku menunnggu dihalte, tapi tak satupun angkutan umum yang lewat. Kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Meskipun sepertinya mustahil, tapi aku terus berjalan. Aku tak mau seharipun melewatkan jam pelajaranku. Aku sangat menghargai ilmu pengetahuan. Diperjalanan aku berjumpa dengan guru matematika, aku ditawari untuk naik motornya. Aku menerima tawarannya dan menjelaskan mengapa aku terlambat. Guru itu mengerti dan menjelaskan kepada guru BK perihal yang ku alami. Dengan penjelasan itu aku diizinkan untuk masuk kelas dan mengikuti proses belajar mengajar seperti biasanya.
Namun ternyata tidak sampai disitu saja aku diproses. Wali kelasku mengadakan briving dan mengabsen siswa-siswa yang tidak menjalankan tugasnya saat upacara bendera tadi. Barang tentu ibu guru memanggil namaku. Aku tidak sendiri, ada lima orang lagi yang namanya disebut. Kami dihukum untuk membersihkan toilet sekolah yang jumlahnya ada 20. Aku benar-benar mengutuk apa yang terjadi hari itu. Meskipun kesal, tapi tak mungkin hukuman ini ditinggalkan. Kami menyelesaikan tugas itu dan segera masuk kelas.
Pada jam pelajaran terakhir adalah pelajaran biologi. Pak lukman masuk dan mengkoordinir siswa untuk mengumpul tugasnya. Aku pun membuka tas dan mengambil buku tugasku. Tapi buku itu tak kutemukan. “Sial! Pasti tertinggal dirumah” pikirku. Pak Lukman menghukumku karena dianggap lalai dan tidak mengerjakan tugas. Aku dikeluarkan dari kelas. Ini adalah pertama kalinya aku dibuat malu. Kesialan yang bertubi-tubi ini kemudian ku kembalikan pada mamaku. Andai saja tadi pagi aku tak mengantar santan itu, pasti aku tidak terlambat. Aku juga tidak akan dihukum karena tidak mengikuti upacara. Tugasku juga tak akan kulalaikan. Semua ini gara-gara Mama. Andai tadi Mama tidak lupa membawa santan, pasti tidak akan begini jadinya.
Tepat pukul 1.45 jam pelajaran berakhir. Tapi demi menaklukkan UAN, kami harus mengikuti pelajaran tambahan. Les nya dimulai pukul 3 sore. Sambil menunggu aku baringkan badan dikursi panjang yang ada ditaman sekolah. Hawanya sejuk sekali, mataku seakan dibelai-belai, sehingga tak terasa aku tertidur. Tiba-tiba aku terbangun. Bukan karena ada yang membangunkan, tapi karena perutku mulai terasa lapar. Aku baru ingat, sedari pagi tadi belum ada sesendok pun makanan yang ku telan. Segera ku periksa saku bajuku, ternyata tidak ada uang. Kuperiksa lagi kantong seragamku, tak kutemukan juga. Ku ingat-ingat lagi, tadi pagi Mama belum sempat memberikanku uang saku tambahan. Tapi seingatku, uang saku yang sebelumnya masih ada dikantongku. Ku periksa lagi tas dan membongkar isinya, tapi masih tak kutemukan juga. “Oh tidak, mungkin terjatuh saat aku membersihkan toilet tadi!” gumamku. Perutku benar-benar lapar. Gesekan-gesekan didalamnya menuntut untuk segera diisi ulang. Tapi tak bisa kupenuhi. Kuputuskan untuk puasa sekalian, tohh aku sudah terbiasa dengan itu.
Alhamdulillah aku bisa bertahan sampai pelajaran tambahan selesai. Kemudian aku pulang ‘nebeng’ motor salah seorang teman. Aku tiba dirumah pukul 4.10. lantas aku segera menyelesaikan tugasku untuk mencuci tumpukan piring dan perabotan rumah tangga yang belepotan dengan arang-arang dapur, dan mencuci gunungan pakaian kotor seluruh keluargaku. Selepas itu aku menjemput Mama dan mengemasi sisa-sisa dagangannya. Aku masih kesal dengan Mama perihal persoalan santan tadi pagi. Aku tetap melakukan rutinitasku seperti biasanya, namun mulutku terkunci rapat-rapat dan tidak sepatah kata pun keluar darinya.
Mama menceritakan bahwa dagangannya tidak habis terjual. Pisang hijaunya hanya laku 2 porsi saja, sedang gado-gadonya hanya laku tadi pagi ketika aku baru saja datang. Itupun hanya 5 porsi. Mama menceritakan ada bangkai anjing dibawah selokan, jadi pelanggannya merasa risih untuk makan. Aku masih diam tanpa kata. Mama menangkap gelagatku yang sedang marah. Mama meminta maaf padaku atas persoalan santan tadi pagi. Aku masih saja diam. Lalu aku pulang dengan membawa sebagian sisa dagangan Mama dan meninggalkan Mama begitu saja. Jujur, meskipun aku marah dan kesal pada Mama, tapi aku tidak tega membiarkannya melakukan pekerjaan itu sendirian.
Di perjalanan pulang aku menangis, betapa hari ini kesialan-kesialan itu bertubi-tubi menghujani ku. Tapi aku masih belum bisa memaafkan Mama. Sesampainya dirumah, aku segera mencuci perabotan kotor yang tersisa dan bertekad menyelesaikannya sebelum Mama pulang. Sebab aku sedang tak ingin bertemu dengan Mama. Sesudahnnya, aku membaca buku pelajarannku yang kulewatkan tadi siang. Kudengar sepeda butut Mama yang sudah reot itu disandarkan dibelakang rumah. Aku tahu pasti, Mama sudah pulang. Mama segera mandi dan berbenah. Setiap hari senin sore, Mama mengikuti pengajian di surau dekat rumah. Mama berpamitan padaku, tapi aku masih saja diam. Selama Mama pergi, aku terus belajar dan mengurung diri dikamar. Bukan apa-apa, hari ini aku tertinggal pelajaran penting. Jadi aku harus belajar sendiri untuk mengejar ketertinggalan itu. Menjelang maghrib Mama pulang, disusul dengan papa yang belepotan lumpur, dan adikku yang baru saja pulang dari Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Aku masih menguncikan kamarku.
Ketika hendak melaksanakan sholat maghrib, aku membuka kunci kamarku dan segera mengambil air wudhu. Selepas itu rasanya mataku berkunang-kunang, penglihatanku mulai suram, kakiku bergetar tak sanggup menopang badanku sendiri. Aku terjatuh dan tidak sadarkan diri seketika.
Ketika aku tersadar, aku sudah berada di tempat tidur ditemani Mama dan papa. Badanku demam, wajahku pucat dan rasanya tulang-belulangku seakan hendak terlepas dari kerangkanya. Sakit sekali rasanya. Mama mengompresku sedang papa memijat-mijat kakiku. Aku ditutup selimut tebal. Mama membetulkan selimut yang sedikit terbuka, aku cuek saja. Mama berusaha menyuapiku, namun aku memalingkan wajah dan masih membisu dari Mama. Pokoknya aku kesal sekali dengan Mama. Ku lihat Mama meneteskan air matanya, tapi egoku masih tak bisa menerimanya. Papa mengerti aku sedang marah besar, papa tidak banyak bertanya dan mengambil alih untuk menyuapiku.
“Syifa sayang, ingat tidak waktu kamu kecil dulu. Waktu usia kamu kira-kira masih 4 tahun. Waktu itu Syifa minta sama papa boneka susan, tapi papa gak punya uang. Terus Mama jual deh cincin Mama buat beliin boneka susan. Terus habis itu, Syifa banyak maunya lagi. Minta susu lah, minta jajanlah, minta di beliin Es cendol bibi imah lah, padahal waktu itu Mama baru pulang dari sawah. Mama capeek banget. Mama masih belepotan lumpur dan masih bau keringat. Tapi dasar Syifanya bandel, yah Mama tetap menuruti permintaan syifa dengan senang hati. Hehehehe…” ungkap papa sambil terbahak-bahak.
Aku hanya diam mendengarkan sambil mengunyah makananku.
“Oh iya nak, ingat tidak? Dulu waktu Mama masih jadi buruh tanam padi, Mama kalau pulang selalu bawain Syifa kue yang dari sawah. Apalagi kalau kuenya bolu kukus, wahhh pasti sama Mama di bawa pulang terus dikasih Syifa semua deh” tutur papa sambil menyuapiku lag.
“Oh ya nak, tadikan mamamu ke pengajian. Kata Mama ada yang bawa kue bolu kukus loh. Terus Mama bawa pulang deh. Tuhh ada di piring diatas meja. Kamu mau gak?” jelas papa menerangkan
Aku menggelengkan kepala dan memalingkan wajahku. Aku menyesal menyalahkan Mama atas kasialanku hari ini. Aku mengutuk diriku sendiri karena telah mendurhakai Mama. Mama baru sekali saja meminta bantuanku, aku sudah merasa direpotkan. Sedang Mama yang kurepotkan seumur hidupku tidak pernah merasa demikian. Lantas aku turun dari ranjang dan mencari Mama. Kutemukan Mama didapur dan memeluknya erat-erat.
“Syifa minta maaf ma, Syifa sudah durhaka sama Mama. Syifa jahat sama Mama. Maafin Syifa yah ma…” Pintaku sambil terisak.
“Iya sayang, Mama juga minta maaf yah sudah buat Syifa marah.” Jawab mamaku lembut.
Aku tak melepaskan pelukan mamaku. Malamnya kami tidur berempat dikamarku. Aku di apit kedua orang tuaku dan juga adikku. Paginya aku tidak ke sekolah, Mama tidak mengijinkanku untuk pergi. Mama juga tak berjualan hari ini, papa juga tidak bekerja.
“Mama kok gak jualan? Papa juga kok gak kerja?” tanyaku tak mengerti.
“Mama gak punya modal untuk jualan lagi nak. Kemarin kan dagangan Mama gak habis. Jadi Mama gak bisa jualan.” Jawab Mama menjelaskan.
“terus papa?” tanyaku lagi.
“Papa dipecat nak. Juragan bangkrut, jadi banyak buruhh yang diberhentikan.” Jawab papaku pilu.
“Yahh kalau Mama gak jualan, papa gak kerja, terus kita makannya gimana? Sekolah aku sama adek gimana ma?” Jawabku mulai terisak.
“Tenang sayang, ada Allah tempat meminta. Allah satu-satunya yang memberikan kita reski. Jadi Syifa tiak usah khawatir soal itu ya sayang.” Ungkap mamaku menenangkan sambil memelukku.
Aku menghabiskan waktu absenku hari ini untuk membaca. Dari pada aku hanya tiduran dan waktuku habis sia-sia, lebih baik seperti ini. Toh ada ilmu yang ku dapat. Saat aku sedang duduk santai sambil membaca buku, handphone bututku bordering. Ternyata wali kelas yang menghubungiku. Ibu guru memberitahukan bahwa aku terpilih sebagai peserta Olimpiade Sains Nasional (OSN) untuk mata pelajaran geografi. Aku senang sekali, akhirnya aku dapat mengikuti kompetisi paling bergengsi ini. Ku beri tahu Mama dan papa. Mereka pun senang dan bahagia mendengarnya. Mereka semakin semangat bekerja, Mama pun kembali berjualan. Setiap hari Mama sisihkan uang untuk membelikan buku-buku referensi yang harganya lumayan mahal. Mama sangat mendukungku. Aku semakin terpacu untuk belajar lebih giat.
Akhirnya waktu yang dinantikan datang juga, pertengahan pebruari kompetisi Olimpiade Sains Nasional itu dimulai. Dengan bekal ridho Mama dan papa serta berbagai persiapan yang telah kulakukan, aku mantap memasuki ruang ujian. Mama menungguku di luar ruangan. Meskipun jumlah soal lebih 100 nomor dan memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi, aku tetap tenang mengerjakannya. Saat bel berbunyi pertanda waktu telah selesai, aku masih mengerjakan sekitar 59 soal. Berat hati aku mengumpulkan lembar jawabanku, namun itulah kemampuanku.
Aku segera keluar ruangan dan menemui Mama yang sedang berbincang-bincang dengan guru pembimbingku. Aku berlari dan memeluk Mama erat sekali.
“Gimana soal-soalnya nak? Bisa dikerjakan kan?” Tanya Mama.
Sambil menggelengkan kepala ku katakan, “Tidak ma, soalnya lebih seratus nomor. Syifa Cuma bisa kerjakan 59” Jawabku terisak.
“Tidak masalah sayang, yang penting Syifa yakin kalau yang Syifa jawab tadi benar. Syifa harus optimis dan yakin dengan jawaban Syifa. Mau jadi juara atau tidak, Syifa tetap anak terhebat buat Mama. Syifa selalu jadi juara buat Mama” Ungkap Mama meredakan.
“Betul itu Syifa, kamu harus yakin atas apa yang kamu lakukan. Kita kan sudah berikhtiar, sekarang tinggal Tuhan yang menentukan.” Ungkap guru pembimbingku menimpali.
“Iya pak. Terimakasih sudah mensupport saya.” Jawabku seperlunya.
Kami pun pulang menuju tempat tinggal masing-masing. Aku bersama mamaku menaiki angkutan umum sampai kerumah kami. Hari itu berakhir sangat melelahkan sekali.
Satu bulan kemudian, saat aku sedang mengerjakan tugas fisika bersama teman-temanku di gazebo sekolah. Terdengar suara microphone menggema menyebut beberapa nama. Namaku muncul sebagai salah satunya. Nama-nama yang sudah dipanggil tadi di perintahkan untuk menghadap ke ruangan kepala sekolah. Aku dan Rara dinyatakan lolos ke babak selanjutnya. Kami langsung dibawa ke kantor dinas pendidikan untuk mengambil trofi dan piagam penghargaan. Kepala sekolah juga memberi kami hadiah berupa beasiswa karena telah mengahrumkan nama sekolah. Kami di ijinkan pulang lebih awal. Aku senang sekali dan buru-buru ingin bertemu Mama. Aku ingin sekali menunjukkan trofi ini ke Mama. Bagiku trofi ini bukan hanya hasil kerja kerasku, melainkan usaha Mama juga yang telah menyayangiku, dan memberikan begitu banyak referensi.
Ketika aku sampai dirumah, aku segera melakukan rutinitasku seperti biasanya. Mencuci piring dan pakaian. Aku segera ke tempat Mama berjualan. Tapi ku lihat tidak ada satupun barang dagangan Mama. Mama juga tidak ada. Lantas Mama dimana? Dirumah tidak ada, di kantin juga tidak ada? Aku bingung. Lalu aku berinisiatif untuk menjemput adikku kesekolah. Kutunggu berjam-jam adikku tak keluar-keluar juga. Aku coba bertanya pada wali kelasnya. Kata gurunya, adikku sudah pulang sedari tadi. Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Lantas aku putuskan untuk pulang saja, mungkin adikku sudah pergi main bersama mamaku atau apa.
Sesampainya aku dirumah, bibiku yang rumahnya tak jauh dari rumahku datang dan memberitahu bahwa mamaku tadi pagi kecelakaan. Mama dibawa ke Rumah Sakit daerah. Papa dan adikku sedari tadi sudah berada disana.
“Kami sudah mencoba menghubungimu nak, tapi handphone kamu sibuk.” Terang bibi menjelaskan.
“Aneh, padahal sedari tadi nomor Syifa gak di pakai apa-apa loh bi. Terus keadaan Mama sekarang gimana bi?” Tanyaku khawatir.
“Sebaiknya kamu cepat-cepat ke Rumah Sakit nak, keadaan mamamu sangat kritis” jawab bibi semakin membuatku ketakutan.
Perasaanku mulai kalut bercampur aduk dengan takut. Aku khawatir Mama kenapa-kenapa. Dengan motor butut papa, aku menyusul Mama di Rumah Sakit. Di perjalanan pun aku hampir menabrak tukang becak yang melintas tiba-tiba didepanku. Untung saja aku dapat menguasai kembali diriku yang kalut.
Saat aku sampai dirumah sakit, aku segera menghubungi papa dan menanyakan Mama dirawat diruangan apa? Setelah dijelaskan aku segera menyusul mereka. Ketika dari pintu salah satu ruangan pasien keluar seorang nenek yang tak lain adalah Omaku, aku pun mendekatinya. Oma menangis tersedu-sedu.
“Oma kenapa? Mama kenapa Oma? Mama baik-baik saja kan?” tanyaku semakin khawatir.
“Lihatlah sendiri nak, mamamu…” jawab Oma diteruskan dengan isak tangis yang semakin pilu.
Aku bergegas masuk dan melihat adik dan papaku juga menangis disana. Papa langsung memelukku. “Nak, mamamu sudah pulang. Syifa harus ikhlas yah…” ungkap papaku menenangkan.
Aku segera memeluk mamaku, aku belai wajahnya yang selalu lembut mendidikku. Aku masih tak mempercayai bahwa cobaan nan tak tertanggungkan ini menimpaku. adikku ikut memeluk mamaku dari arah yang berlawanan denganku. “Mama,…” Ucap adikku tertahan dan terus menangis.
“Mama, tahu gak Syifa sama Rara lolos ke babak selanjutnya loh. Kepala sekolah ngasih beasiswa lagi ke Syifa. Oh iya ma, Rara dapet trofi dan piagam penghargaan dari dinas pendidikan.Trofi ini Syifa persembahkan untuk Mama. Mama buka mata Mama dong. Lihat nih Trofinya bagus kan ma, baguskan? Mama bangun dong. Mama…” Ucapku sambil memeluk Mama. Aku tak sanggup lagi melanjutkan kata-kataku. Aku menagis sejadi-jadinya dan memeluk Mama erat-erat. Aku ingin sekali menunjukkan trofi ini untuk Mama. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Aku ingat betapa aku pernah mendurhakai Mama, betapa aku selalu menyusahkan mama, aku belum sempat membahagiakan mamaku tersayang. Tak ada Mama sehebat mamaku. Mama selalu sabar mendidik aku dan adikku yang kadang manjanya luar biasa. Mengingat semua itu aku tak sanggup lagi. Aku jatuh tak sadarkan diri.
Tahun ini adalah tahun ke-5 kepergian Mama, aku rindu sekali akan pelukan Mama. Lewat tulisan ini kukisahkan tentang mamaku, Mama yang selalu jadi pahlawan terhebat untuk aku, adikku dan juga papaku. Semoga Tuhan memberi ampunan atas dosa-dosa Mama didunia, dan senantiasa menempatkan mama disisi terbaik-Nya. Andai aku dapat meminta kemustahilan, aku akan minta Tuhan untuk hidupkan mamaku sekali lagi. Mama, I love you.
Eva Zulfiah Hasanah